Chapter 81: – Bayangan Kehilangan
Chapter 81 - – Bayangan Kehilangan
Fajar menyingsing di atas dunia yang baru. Sisa-sisa pertempuran masih tampak di tanah yang berlumuran darah dan abu, tetapi akhirnya, keheningan menggantikan pekik perang. Kota-kota yang dulu tertindas oleh Ordo Cahaya kini terbebas, meski dengan harga yang mahal. Namun, di tengah kemenangan, Kaelen merasakan kehampaan yang sulit ia jelaskan.
Ia duduk di atas reruntuhan benteng utama Ordo Cahaya, menatap cakrawala yang perlahan berubah warna. Angin berembus lembut, membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam. Di kejauhan, para penyintas mulai membangun kembali apa yang telah hancur. Di antara bangunan yang runtuh, seorang anak kecil terduduk diam di samping tubuh ibunya yang tak lagi bernyawa, tangannya mencengkeram kain lusuh dengan tatapan kosong. Gambaran itu membuat dada Kaelen semakin sesak.
Langkah kaki mendekat di belakangnya. "Kau terlihat seperti seseorang yang memenangkan perang, tetapi kehilangan sesuatu yang lebih besar."
Kaelen tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa yang berbicara. Suara lembut namun tegas itu milik Lyra.
"Apa menurutmu ini benar-benar kemenangan?" tanya Kaelen tanpa mengalihkan pandangannya dari horizon.
Lyra duduk di sampingnya, diam sejenak sebelum menjawab. "Dunia akhirnya bebas. Tapi aku tahu... bagi kita, kebebasan ini terasa lebih seperti hukuman."
Kaelen mengepalkan tangannya. Ada sesuatu di benaknya yang terus mengganggunya. Seperti bagian dari dirinya yang hilang, sesuatu yang seharusnya ia ingat, tetapi sekarang terasa seperti bayangan samar yang terus menjauh semakin ia mencoba menggapainya.
Eryon muncul dari balik reruntuhan, masih mengenakan baju zirahnya yang kini penuh goresan pertempuran. "Pasukan terakhir Ordo Cahaya sudah menyerah. Kota-kota di selatan juga telah kembali mengakui kemerdekaan mereka. Ini sudah berakhir."
Kaelen menatap Eryon. "Sudah berakhir bagi dunia... tapi belum tentu bagi kita."
Updat𝓮d fr𝙤m ƒгeeweɓn૦vel.com.
Eryon mengernyit. "Apa maksudmu?"
Kaelen mengusap pelipisnya, mencoba merangkai kata-kata untuk menjelaskan perasaan asing yang terus mengganggunya. "Aku merasa seperti ada sesuatu yang penting yang telah kuhilangkan. Bukan sesuatu—seseorang."
Lyra dan Eryon saling bertukar pandang. Wajah Lyra sedikit memucat, seolah ia tahu apa yang dimaksud Kaelen.
"Serina," gumam Lyra.
Kaelen menegang. Nama itu... sesuatu tentang nama itu terasa familiar, tetapi pada saat yang sama asing.
"Serina..." Kaelen mengulanginya, tetapi tidak ada wajah yang muncul di benaknya, tidak ada suara yang bisa ia ingat. Hanya kehampaan.
Lyra menggenggam tangannya. "Kaelen, kau mengorbankan ingatanmu tentangnya saat menggunakan kekuatan penuh untuk menyelamatkan kita."
Jantung Kaelen berdegup lebih kencang. "Aku melupakannya...?"
Eryon menyandarkan tubuhnya ke reruntuhan, menghela napas panjang. "Dia adalah salah satu dari kita. Seorang pejuang yang berjuang hingga akhir. Kau mungkin tidak mengingatnya, tetapi dia tidak akan pernah melupakanmu."
Kaelen memejamkan matanya, mencoba menggali sesuatu dari kegelapan pikirannya. Tetapi semakin ia berusaha, semakin hampa rasanya. Sesaat, ia merasa seperti melihat bayangan seseorang berdiri di kejauhan, sosok yang samar di antara kabut. Tetapi begitu ia mencoba menangkapnya, sosok itu menghilang seperti debu tertiup angin.
Setelah beberapa saat hening, Kaelen berdiri. "Aku harus pergi."
Lyra menatapnya khawatir. "Ke mana?"
Kaelen menatap ke arah utara, di mana pegunungan yang tertutup kabut membentang jauh. "Jika aku telah kehilangan bagian dari diriku, maka aku harus menemukannya kembali."
Eryon menyeringai tipis. "Jadi kau akan berkelana lagi? Setelah semua ini?"
Kaelen tersenyum samar, meskipun hatinya berat. "Perang ini mungkin telah berakhir, tetapi perjalananku belum selesai."
Lyra menggenggam lengan Kaelen, matanya dipenuhi kekhawatiran yang tulus. "Kaelen, jangan sampai kau kehilangan dirimu sepenuhnya dalam pencarian ini."
Kaelen menatapnya lembut. "Aku harus tahu siapa yang telah kulupakan. Jika aku tidak bisa mengingatnya, setidaknya aku ingin menemukan jejaknya."
Lyra terdiam, lalu dengan suara hampir berbisik, ia berkata, "Di utara... ada seseorang yang mungkin bisa membantumu."
Kaelen menatapnya tajam. "Siapa?"
Lyra menggigit bibirnya, seolah ragu untuk mengatakannya. "Aku tidak tahu namanya, hanya rumor yang pernah kudengar. Seorang penjaga rahasia, seseorang yang mengetahui kisah mereka yang telah dilupakan dunia."
Kaelen mengangguk, tekadnya semakin kuat.
Dengan langkah mantap, Kaelen meninggalkan reruntuhan benteng Ordo Cahaya, melangkah menuju takdir yang belum ia pahami.
Di kejauhan, di antara bayangan kabut pegunungan, sesuatu menunggunya. Sebuah kebenaran yang terkubur dalam ingatan yang telah terhapus, dan sebuah perasaan yang meskipun ia lupakan, masih tetap ada di hatinya. Saat angin berembus lebih dingin, di balik pepohonan yang redup, sepasang mata mengawasinya dari kejauhan, menanti kedatangannya.